PSIKIATER
Yap, pasti sebagian besar dari kalian merasa bingung, apa sih bedanya psikiater sama psikolog? Kan sama-sama kuliah psikologi, terus apa bedanya ya?
Ini nih jawabannya.
Psikiater atau psikolog? Umumnya masyarakat Indonesia sulit membedakan kedua profesi ini. Sebelum kita mulai dengan perbedaannya, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu persamaan pada kedua profesi ini, setuju kan? Pasti setuju doongg...
Kedua profesi baik psikiater maupun psikolog sama-sama menangani gangguan jiwa dari taraf ringan hingga berat, dari gangguan cemas ringan hingga skizofrenia. Meskipun mitos yang beredar di masyarakat adalah psikiater hanya menangani kondisi yang berat semacam skizofrenia dan psikolog hanya menangani kasus yang ringan seperti stres akibat masalah pertengkaran sehari-hari, nyatanya tidak demikian lhooo. Intinya kedua profesi ini boleh melakukan psikoterapi dalam tata laksananya.
Psikiater adalah dokter dengan spesialisasi di bidang Ilmu Kedokteran Jiwa sehingga sering disingkat menjadi dokter jiwa. Cabang-cabang spesialistik ilmu kedokteran yang sudah populer di masyarakat, di antaranya: Ilmu Kesehatan Anak (dokter anak), Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan (dokter obsgyn), Ilmu Penyakit Dalam (dokter penyakit dalam), Ilmu Penyakit Saraf (dokter saraf), dan cabang-cabang lainnya. Sehingga dasar ilmu seorang psikiater adalah ilmu kedokteran, artinya harus kuliah kedokteran dulu guys.
Seperti cabang spesialistik lainnya, seorang dokter psikiater sudah menamatkan pendidikan dokter umumnya terlebih dahulu sebelum bersekolah lagi sekurangnya 4 tahun lamanya hingga lulus sebagai seorang Spesialis Kedokteran jiwa. Total lama pendidikan seorang psikiater adalah sekitar 10 tahun (6 tahun kedokteran umum dan 4 tahun pendidikan spesialis) wooooowwww :0
Di dalam masa pendidikannya, seorang psikiater mempelajari berbagai dasar ilmu psikologi (teori kepribadian, psikodinamika, psikoterapi, diagnosis gangguan jiwa, pola relasi interpersonal, relasi dengan lingkungan, dan lain sebagainya) sekaligus mempelajari dasar medis bagaimana timbulnya suatu kondisi kejiwaan. Selama 4 tahun masa pendidikannya, dokter psikiater menangani berbagai kasus psikiatri di rawat inap dan rawat jalan rumah sakit serta menerima konsultasi dari bidang-bidang spesialistik kedokteran lainnya. Dokter psikiater menangani pasien dengan masalah kejiwaan mulai dari pasien anak hingga pasien manula.
Sementara seorang psikolog yang berpraktek disebut sebagai psikolog klinis. Psikolog klinis adalah para lulusan S1 sarjana psikologi yang meneruskan pendidikan masternya di bidang psikologi klinis artinya, harus kuliah S1 di jurusan psikologi, kemudian melanjutkan S2 di jurusan psikologi klinis. Sehingga seorang psikolog klinis di Indonesia memiliki gelar M.Psi di belakang namanya. Sementara di luar negeri, seorang psikolog yang dapat berpraktek adalah para sarjana psikologi yang telah menyelesaikan pendidikan doktoralnya (S3) dengan gelar Ph.D atau Psy.D.
Dasar ilmu psikologi adalah ilmu sosial. Seorang psikolog klinis di Indonesia menyelesaikan pendidikannya selama 6 tahun (4 tahun pendidikan S1 Psikoogi dan 2 tahun pendidikan master psikologi). Untuk sertifikasi Psikolog Klinis biasanya harus mendaftarkan diri ke Organisasi Psikologi, kalo di Indonesia namanya HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia)
Diagnosis dan Terapi
Para psikiater saat pasien datang akan melakukan pemeriksaan yang disebut wawancara psikiatri. Sebetulnya pemeriksaan ini mirip dengan anamnesa yang dilakukan oleh dokter-dokter di bagian lainnya namun demikian biasanya lama wawancara psikiatri cukup panjang. Selain mencari problema psikologis yang dibawa oleh pasien, psikiater juga akan menanyakan mengenai masalah-masalah medis lainnya yang mungkin diduga berkaitan dengan kondisi pasien saat ini. Setelah cukup melakukan pemeriksaan wawancara psikiatri dan pemeriksaan fisik, psikiater akan memberikan terapi berdasar kondisi pasien saat itu. Terapi yang diberikan biasanya adalah dengan obat yang dikombinasi dengan psikoterapi. Ada beberapa kasus di mana terkadang psikoterapi saja sudah cukup dan psikiater tidak merasa perlu untuk meresepkan obat.
Referensi :